Senin, 06 Juli 2020

MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)

Assalamualaikum...
Mari selalu berdoa dan berharap kebaikan akan berpihak pada kita, Aamiin...
Tetap semangat berliterasi dan belajar ya...
Kali ini kita akan bahas materi Masa Demikrasi Parlementer/ Liberal (1950-1959).


Masih ingatkah kalian tentang hasil konferensi meja bundar? Dalam salah satu poin konferensi meja bundar menyepakati keberadaan Indonesia sebagai Negara yang berbentuk Serikat atau Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar RIS.


Banyak Negara bagian tidak setuju dengan Negara federalis. Menurut kalian kenapa mereka tidak setuju dengan Negara federalis? Bentuk negara federalis bukanlah bentuk negara yang dicita-citakan saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sebab jiwa proklamasi 17 Agustus 1945 menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Negara-negara bagian merupakan negara boneka (tidak dapat bergerak sendiri) yang diciptakan ciptaan Belanda untuk mengalahkan RI yang juga ikut di dalamnya.
Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS dalam konferensi ini dicapai kesepakatan yang sering disebut dengan Piagam Persetujuan, dengan isinya sebagai berikut.
  • Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945
  • Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat itulah Negara Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer. 
Demokrasi Parlementer/ Demokrasi Liberal artinya demokrasi yang berazaskan kebebasan dan persaingn bebas. Atau dapat diartikan sebagai demokrasi yang didasarkan pada hak-hak individu.

Sistem Pemerintahan
Pelantikan Moh, Natsir sebagai Perdana Menteri Indonesia
Pada masa Demokrasi Parlementer undang-undang yang digunakan sebagai landasan hukum negara adalah UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950 adalah sistem parlementer. Artinya Kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Dalam sistem ini parlemen sangat berkuasa. Apabila kabinet dipandang tidak mampu menjalankan tugas,  maka parlemen segera membubarkannya. Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai  politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut menyebabkan seringnya pergantian kabinet, antara lain:
  1. Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951).
  2. Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952).
  3. Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953).
  4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953 – Agustus 1955).
  5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
  6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957).
  7. Kabinet Juanda (Maret 1957 – Juli 1959).
Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian yang dianut pada masa ini adalah sistem multi partai, yaitu suatu sistem kepartaian yang memiliki banyak partai politik. Partai-partai tersebut antara lain: Masyumi, PNI, PSI, PKI, PBI, PRJ, Parkindo, PRS, Permai, PKRI. Banyaknya partai politik yang ikut serta dalam pemerintahan menyebabkan
munculnya persaingan antarpartai. Partai-partai politik yang ada cenderung memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. 

Pemilu 1955
Pemilu merupakan wujud nyata pelaksanaan demokrasi. Pemilu I di Indonesia akhirnya dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu I yang diselenggarakan pada tahun 1955 dilaksanakan dua kali, yaitu:
  • Tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemen.
  • Tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar).
Pemilu berjalan lancar dan tertib dan melahirkan Empat partai yang muncul sebagai pemenang dalam Pemilu 1955 secara berurut: Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Gangguan Keamanan
Silih bergantinya kabinet dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan ketidakpuasan pemerintahan daerah. Karena pemerintahan pusat sibuk dengan pergantian kabinet, daerah kurang mendapat perhatian. Tuntutan-tuntutan dari daerah ke pusat sering tidak didengarkan. Situasi ini menyebabkan munculnya gejala provinsialisme atau sifat kedaerahan. Gejala provinsialisme akhirnya berkembang ke separatisme atau usaha memisahkan diri dari pusat. Gejala tersebut terwujud dalam berbagai macam pemberontakan, APRA, pemberontakan Andi Azis,RMS, PRRI, dan Permesta.
Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda
Gedung Merdeka tempat diselenggarakan KAA
Pemerintah pada masa Demokrasi Parlementer mampu mewujudkan beberapa keberhasilan yang membanggakan, di antaranya adalah  Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda. Konferensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan pada tanggal 18–24 April 1955 di Bandung. Konferensi ini dihadiri oleh 29 negara. Sidang berlangsung selama satu minggu dan menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal dengan Dasasila Bandung /Bandung Spiri/ The Ten Principle, antara lain:
  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
  3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil
  4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain
  5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB
  6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara
  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama
  10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional. 
Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Penetapan Deklarasi Djuanda dilakukan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pengakuan atas Deklarasi Djuanda menyebabkan luas wilayah Republik Indonesia meluas hingga  2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². 
Kehidupan Ekonomi Masa Demokrasi Parlementer
Masa Demokrasi Parlementer, bangsa Indonesia menghadapi permasalahan ekonomi. Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Untuk mengatasi kondisi ekonomi tersebut pemerintah melakukan berbagai kebijakan antara lain: Gunting Syafruddin, Sistem ekonomi Gerakan Benteng, Nasionalisasi perusahaan asing, Finansial Ekonomi (Finek), dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT). 
Kehidupan politik, keamanan  dan ekonomi yang tidak stabil berpengaruh terhadap aspek kehidupan masyarakat  yang lain, seperti sosial, pendidikan, budaya, dll. Kondisi tersebut  diperperparah dengan tidak berhasilnya Badan Konstituante yang belum berhasil menyusun Undang-Undang Dasar baru.  Presiden Soekarno dan TNI tampil untuk mengatasi krisis yang sedang melanda Indonesia dengan mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan dikeluarkan Dekrit Prsiden tersebut berarti masa Demokrasi Parlementer  di Indonesia berakhir dan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
Terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat
Salam Literasi
Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar